Demi pencapaian target tujuan pembangunan milinium, sebuah televisi swasta menayangkan berulang-ulang iklan layanan masyarakat MDGs. Iklan ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam pencapaian MDGs tahun 2015. Salah satu pencapaiannya ialah kesetaraan gender di segala bidang. Tak tanggung-tanggung, kini, hampir di seluruh departemen kementrian RI sedang digarap berdirinya divisi khusus kesetaraan gender. Divisi ini bertugas mengkaji kebijakan pemerintah di semua lini agar berperspektif gender.
Disisi lain, mayoritas aktivis perempuan tadi juga menolak pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, mendorong pengesahan RUU kesehatan reproduksi (aborsi), menggagas RUU Perdagangan Perempuan dan Anak serta revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Revisi UU Perkawinan terbaru ini berisi pelarangan poligami, hak perempuan sebagai kepala rumah tangga. Entah UU yang sedang digolkan.
Maksud ratifikasi dan lahirnya berbagai UU tersebut sebenarnya mulia. Namun patut disadari oleh kita bersama, pemecahan masalah perempuan melalui konvensi dan ratifikasi tersebut, bila dicermati secara jeli, tidak akan menyelesaikan persoalan perempuan. Malah, menambah masalah dan menimbulkan kemudharatan baru.
Dengan pilihan tata bahasa dan kemasan cantik memikat, beberapa isi dan pasal-pasal di dalamnya menyimpan misi politis samar. Bahkan bertentangan dengan aturan Islam. Misalnya, UU .Kewarganegaran pasal 4 ayat e dan h mengatur pengakuan anak diluar pernikahan.
Memang tak bisa dipungkiri bersama, fakta buram kondisi perempuan dunia, begitu memilukan. Tentu, kita berharap semua perempuan bahagia meniti hidupnya. Hanya saja, apa sih jalan keluarnya?
Kalau kita jernih memandang nih ya, akar masalah perempuan dunia ini bukan berasal dari budaya patriarki. Kesengsaraan yang melanda kaum perempuan, sebenarnya akibat jaring-jaring sistem kapitalis liberalis. Sistem ini menafikkan aturan ilahi dan moral. Sehingga baik laki-laki, perempuan, anak-anak, bapak ibu, pemerintah tak memahami peran dan kewajibannya.
Suami kurang memahami agama dan tanggungjawab cenderung menzalimi istri dan keluarganya. Begitu pula, istri yang kurang memahami hak dan kewajibannya menyebabkan kehidupan rumah tangga retak. Pemerintah pun demikian. Kebijakan pemerintah yang kurang memihak kepentingan masyarakat dan jauh dari nilai-nilai agama, menahan curahan berkah dan rahmah Allah. Oleh karenanya, mari kita kembali pada jalan Allah. Perempuan, ditanganmu nasib perubahan dipertaruhkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar